“Klodi, maen ke bumi yuk!”
“Ogah ah,
maen sama kamu mah basah!”
“Klodi kan
udah biasa yah basah-basahan, orang tiap hari juga aku menunggang di atas
punggung kamu kok, udah kewajiban tahu!”
“Gamau ah,
Ujan! Kamu mah bau apek.”
Percakapan
pagi ini dimulai dengan kegiatan tarik menarik antaraku dengan Klodiklodi.
Memang, kami itu semacam pasangan yang agak ajaib. Klodi sih yang aneh.
Aku mah normal, seperti layaknya hujan-hujan yang lainnya. Kalau Klodi,
dia itu suka menyebut dirinya skeptis dan apatis. Selalu menjadi awan hitam,
ujarnya.
“Saya lebih
cocok berada di keluarga Awan Stratus daripada Kumulus, saya kan gelap dan
kelabu. Betul kan, Ujan?”
Aku hanya
diam. Tersenyum dan menatapnya perlahan. Mendalam. Aku yakin, percaya seratus –
bahkan dua ratus persen – kalau kebaikan hati Klodi itu lebih besar dari
awan-awan putih sekalipun.
***
Oh iya,
kenalkan. Namaku Uja-Ujan. Aku lahir di Kerajaan Angkasa, sebuah tatar mewah
dengan ruang lingkup benda-benda melayang yang masih berada di batasan
atmosfer. Tepatnya, aku itu dijuluki sebagai Manusia Planet Hujan. Seperti planet
yang ada di buku-buku dongeng, tapi aku nyata.
Aku, hidup
sebagai utusan Raja Langit seumur nyawaku. Konon katanya, dulu, saat Raja
Langit masih menjadi seorang Pangeran, dia iseng sesekali bermain mengelilingi
daratan yang berada di tanah bola biru di bawah kerajaanku.
Di sana,
Langit terkesima mentah-mentah oleh cantiknya tanah tersebut. Pepohonan hijau,
lautan luas membentang, hingga bebatuan merah penuh cahaya. Dan alkisah,
daratan cantik itu memiliki nama. Bumi, namanya.
Langit yang
gagah perkasa, jatuh cinta, luluh lantah sekejap terhadap sesosok Bumi dengan
kasta yang lebih rendah. Dan, sejak saat itu, Langit selalu memerhatikan Bumi
dari kejauhan. Memeluknya diam-diam kala ia tertidur, membantunya berdansa
memutari Matahari, dan memberikan hadiah seperti Langit Sore dan Pelangi.
Seperti di
dongeng-dongeng, Langit dan Bumi pun sama-sama memendam rasa. Tak jarang Bumi
menumbuhkan aneka warna bunga cantik untuk membuat Langit tersenyum. Atau
memercikkan air terjun, sehingga Langit kembali berwarna biru dan merasa
tenang.
Namun,
rahasia itu lambat laun tercium oleh para petinggi Kerajaan. Langit dan Bumi
seringkali dianggap tak sebanding. “Bumi itu ada di bawah, rendah. Kita lebih
agung, Langit!” ungkap para Dewan Kerajaan kala memergoki perasaan yang
dipendam Langit.
Sejak saat
itu, Langit dan Bumi terpisahkan oleh jarak, kasta, tingkatan. Terbataskan oleh
posisi. Tak jarang Bumi merasa sedih, merasa rindu pada Langit tapi tak tahu
apa yang harus diperbuat.
Patah hati
menjadi sebuah hal yang menyesakkan. Langit tak ingin tinggal diam. Lantas, ia
mengutus Awan dan Hujan untuk mengantarkan surat. Dalam satu tahun, Langit
mengirim 182 surat di setiap harinya sebagai tanda bahwa Langit kangen sama
Bumi.
Dan itu
adalah tugasku sebagai makhluk-makhluk Planet Hujan, serta tugas Klodi sebagai
salah satu dari anggota keluarga Awan, yang menjadi tetanggaku di Tatar
Angkasa.
Nah, kan!
Aku lupa memperkenalkan Si Klodi, pasanganku yang menyebalkan ini. Dia terlahir
sebagai awan pengantar hujan, yang menjadi utusan dari Sang Langit.
Anggap saja
itu kebetulan. Kami bertemu di sebuah persimpangan jalan dekat Istana Langit.
Aku, memang sudah lama tahu, bahwa Awan gemuruh itu namanya Klodi, dan konon
katanya, dia juga sudah tahu bahwa namaku Uja-Ujan.
Mirip seperti
sinetron di layar kaca manusia yang biasa aku intip waktu aku turun bertemu
Bumi, aku dan Klodi berada dalam situasi yang lucu. Cinta lokasi? Nggak juga
sih. Sebut saja, kami menyerupai film Serendipity yang diperankan oleh John
Cusack. Aku tahu darimana? Sudah kubilang, aku itu Hujan yang bisa menempel di
kaca jendela manusia, mengintip tontonan apa yang mendominasi otak mereka,
tanpa mereka harus tahu.
Kali pertama
kami bertemu, Klodi dan aku merupakan salah satu petugas yang baru perdana
mendapat tugas mengantarkan surat rindu ke tanah Bumi. Dia menjadi
pengendaranya, dan aku tentu saja menjadi pembawa surat-surat maya itu.
Shit
happens, tapi rasanya
buat aku hal ini sama sekali tidak terlihat seperti sebuah shit alias
kotoran manusia. Hal ini lebih terlihat seperti keajaiban, bonus yang diberikan
Langit atas keberanianku melakukan tugas perdana.
Klodi, kala
itu mengendarai vespa kesayangannya. Lucu juga, Klodi sangat menyukai motor
buatan manusia itu. Tak heran bila Langit memberikan semacam duplikatnya
sebagai hadiah atas tugas perdana yang diemban olehnya. Hanya bedanya, sang
vespa terbuat dari butiran-butiran kristal es yang dibentuk menggumpal seperti
awan. Massa di dalamnya digerakkan oleh bantuan makhluk Planet Angin.
Tapi,
duplikat mesin buatan makhluk Bumi itu mengadaptasi sifat-sifat asli dari motor
tersebut, hingga sifat jeleknya. Sering mogok dan rewel. Otomatis Klodi harus
super sabar menghadapinya. Tapi ya, kalau sudah suka, semua hal pun seakan
terlupakan dan terbutakan.
Dan alhasil,
aku menjadi salah satu korban dari mogoknya duplikat vespa milik Klodi. Tugas
perdana, sekaligus pertemuan pertama aku dan Klodi ini, tak hanya diwarnai
mogok. Nyasar dan salah jalan juga menghiasi perjalanan kami.
Anehnya, aku
tak merasa marah, kesal atau apapun, meskipun surat yang harus kukirimkan
terdiri atas beratus-ratus lembar. Ajaib. Aku merasa Langit meminta tolong pada
Bumi untuk menanam bunga-bunga cantik di dunia khayalku. Menjadi bonus
penghujung yang aku dapatkan. Membuatku tersenyum malu.
Akhirnya,
kami sampai di rumah Bumi. Begitu Bumi nan cantik bertanya pada kami, kenapa
kami sampai tersesat, kami cuma tersenyum, setengah menahan tawa. Klodi pun
begitu. Walau aku nggak terlalu bisa menebak hatinya seperti apa. Tapi aku
yakin, Langit juga memberi bonus yang sama pada Klodi. Perasaan ini.
Sejak itu,
hadiah bunga-bunga maya dari Langit menjadi hadiah pertama, dan hadiah yang
selalu aku simpan hingga kini. Dia tidak bisa layu, atau hilang menjadi
bangkai. Karena ini bonus dari Langit. Iya, ini adalah bonus karena kami
sama-sama utusan Langit yang menyampaikan surat rindu bagi Bumi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar